Pengamat: Tempo Harap Mentan Dicaci, Justru Menuai Pujian Netizen
By Admin

nusakini.com, Jakarta — Pengamat pangan Debby Syahputra menilai pemberitaan Tempo yang menyerang Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman justru berbalik arah dan gagal menggiring opini publik.
Alih-alih menuai caci maki, publik di media sosial justru memberikan dukungan dan pujian kepada Mentan Amran atas langkah tegasnya dalam membenahi sektor pangan nasional.
“Kalau melihat respons publik, sepertinya narasi yang coba dibangun oleh Tempo tidak berhasil. Netizen justru memberikan dukungan moral yang besar kepada Mentan Amran. Ini menandakan tingkat kepercayaan publik terhadap beliau sangat tinggi,” kata Debby di Jakarta, Minggu (26/10).
Menurut Debby, publik saat ini semakin cerdas dalam membaca arah pemberitaan. Ia menilai kecenderungan Tempo yang mengangkat isu secara personal tanpa membahas kinerja dan capaian konkret justru dinilai tidak proporsional.
“Secara tidak langsung, Tempo seperti berharap Mentan dicaci. Namun kenyataannya justru sebaliknya, netizen ramai-ramai memberikan pujian karena mereka melihat hasil nyata di lapangan,” ujarnya.
Debby menambahkan, Andi Amran dikenal sebagai sosok yang berpihak pada petani dan berani mengambil langkah tidak populer demi memperbaiki sistem pangan nasional. Ia menyebut, Mentan tidak segan menindak tegas pihak-pihak yang bermain di sektor pertanian.
“Beliau berani membuka kasus beras oplosan, menutup kios pupuk yang menjual di atas Harga Eceran Tertinggi (HET), bahkan memecat pegawai yang terbukti bermain dengan mafia pangan. Ketegasan seperti ini jarang kita temui,” tegas Debby.
Debby merujuk kepada berbagai hasil survei publik yang menempatkan Andi Amran Sulaiman dalam jajaran Menteri Kabinet Merah Putih yang berprestasi dan berkinerja baik.
Selain itu, Debby menilai dukungan internal di Kementerian Pertanian terhadap Mentan Amran sangat solid.
“Para pegawai melihat langsung bagaimana Amran bekerja siang malam mendorong swasembada pangan. Sementara petani merasakan dampaknya secara langsung, dari turunnya harga pupuk bersubsidi hingga meningkatnya hasil panen,” ucapnya.
Menurut Debby, kebijakan penurunan harga pupuk bersubsidi hingga 20 persen menjadi salah satu kebijakan paling dirasakan manfaatnya oleh petani. “Langkah ini membuat biaya produksi petani jauh lebih ringan. Petani sekarang bisa menanam lebih luas karena pupuk lebih terjangkau,” katanya.
Selain itu, kebijakan harga gabah minimal Rp6.500 per kilogram yang dijalankan pemerintah menjadi bukti nyata keberpihakan terhadap petani. “Harga gabah yang stabil di level Rp6.500/kg memberikan kepastian pendapatan bagi petani. Mereka tidak lagi was-was harga anjlok saat panen raya,” ujar Debby.
Menurutnya, kombinasi antara turunnya harga pupuk dan stabilnya harga gabah membuat semangat petani bangkit kembali. “Kebijakan seperti ini sangat nyata dampaknya. Bukan narasi atau janji, tapi terasa di sawah dan di dompet petani,” tambahnya.
Debby juga menilai wajar jika pegawai Kementan merasa tersinggung dan marah atas pemberitaan Tempo yang dianggap tidak menghargai jerih payah mereka.
“Pegawai Kementan bekerja 24 jam, 7 hari seminggu, memastikan program berjalan sampai ke lapangan. Penyuluh pertanian juga terus mendampingi petani tanpa lelah. Tapi kerja keras mereka seolah diabaikan, bahkan hasil beras petani digambarkan Tempo dengan diksi yang buruk, seperti ‘beras penuh kecoa’. Itu sangat melukai perasaan para petani dan ASN yang sudah berjuang,” ujar Debby.
Padahal, kata Debby, Presiden Prabowo Subianto sudah mendeklarasikan Indonesia swasembada beras di sidang PBB. Begitupun berbagai lembaga internasional seperti USDA dan FAO telah mengakui bahwa produksi beras Indonesia tahun ini berlimpah.
“Dunia internasional mengakui Indonesia sudah mencapai swasembada beras. Ini capaian besar yang harusnya jadi kebanggaan nasional, bukan malah dijatuhkan dengan narasi negatif,” katanya.
Debby menegaskan, keberhasilan ini bukan semata hasil kebijakan, melainkan hasil kerja bersama antara pemerintah, penyuluh, dan petani di seluruh Indonesia.
“Bagi mereka, pemberitaan Tempo seperti itu terasa tidak adil. Mereka tahu betul bagaimana perjuangan di lapangan, terutama menghadapi dampak El Nino dan keterbatasan pupuk,” tambahnya.
Ia menilai, reaksi publik yang membela Mentan Amran menunjukkan bahwa kredibilitas pejabat publik kini lebih ditentukan oleh kinerja, bukan oleh opini media.
“Masyarakat sekarang tidak mudah dipengaruhi oleh pemberitaan yang bias. Mereka melihat hasilnya langsung di lapangan,” ujar Debby.
Menurut Debby, pemberitaan Tempo ini justru menjadi bumerang. “Alih-alih menjatuhkan nama baik Mentan, publik justru semakin solid mendukungnya. Ini pelajaran penting bagi media agar tetap objektif dan berimbang,” tutupnya. (*)